BANDUNG, infobdg.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) mengadakan pertemuan dengan para pengusaha di Jabar yang terdiri atas pengusaha tekstil, alas kaki, batu bara, farmasi, dan lain-lain, pada Kamis (27/10).
Pertemuan yang dilangsungkan di Bandung itu diadakan dalam rangka konsolidasi, serta silaturahmi, untuk membahas hal-hal yang sedang terjadi di tengah kondisi global yang kurang baik belakangan ini.
Dalam keterangan pers yang diterima InfoBDG, Ning Wahyu Astutik sebagai Ketua Apindo Jabar membeberkan, bahwa dalam pertemuan tersebut, dirinya mendapat keluhan dari pengusaha, salah satunya pada sektor tekstil, sebab mengalami penurunan kapasitas.
“Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, ada keluhan mengenai penurunan kapasitas pada sektor tekstil. Bahkan ada yang menyampaikan kalau dulu berlomba-lomba untuk berkembang, tapi kalau sekarang belomba-lomba untuk menutup pabrik, karena sekarang sudah begitu susahnya untuk berkompetisi,” kata Ning.
Menurut Ning, hal itu terjadi sebab pengusaha mengeluhkan adanya import illegal yang terjadi.
“Contohnya, masuknya produk baju bekas, sehingga membuat perusahaan perusahaan textile yang menjual textilenya di lokal mengalami kesulitan dalam meraih market yang disebabkan oleh hal tersebut, selain karena harga barang-barang import yang lebih murah,” tukasnya.
Selain itu, para pengusaha tekstil mengeluhkan soal kenaikan harga batubara yang berdampak signifikan pada pembuatan bahan. Diketahui, naiknya harga batubara disebabkan oleh kondisi geopolitik dan perekonomian global.
“Di sini pengusaha mempertanyakan mengapa tidak ada pembatasan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk sektor tekstil, sementara untuk sektor semen dan pupuk sudah diterapkan adanya HBA nya sebesar 90 USD/Ton,” beber Ning.
Tingginya harga batubara untuk tekstil yang saat ini mencapai 2 kali lipat jika dibanding HBA sektor semen dan pupuk tersebut dirasa Ning sangat memberatkan para pengusaha textile.
“Hal ini yang membuat mereka (pengusaha) meminta Apindo untuk mendiskusikan dengan pihak-pihak terkait perlu diaturnya Harga Batubara Acuan (HBA) serta Domestic Market Obligation (DMO) untuk batubara sector textile,” kata Ning menjelaskan.
Selain pada sektor tekstil, pengusaha dari sektor alas kaki atau sepatu juga mengeluhkan adanya pengurangan order hingga 50%.
“Sementara mereka ini tidak mempunyai karyawan kontrak, jadi ketika order turun 50% mereka menjadi dilema apakah harus melakukan PHK karyawan sebanyak itu untuk kemudian bila kondisi sudah membaik mereka akan merekrut ulang,”
Ning menyarankan, apabila harus merekrut ulang, pengusaha sepatu juga harus melakukan training ulang, dan ini akan membutuhkan pengeluaran yang juga tidak sedikit. Tetapi di sisi lain, apabila pengusaha tidak melakukan PHK, maka hal tersebut akan menjadi beban untuk perusahaan.
“Ini menyebabkan ketidakpastian situasi, hingga kapan berlangsung, dan menjadi kekhawatiran tersendiri untuk para pengusaha,” khawatir Ning.
Maka, sebagai solusi, Ning pun menyarankan para pengusaha untuk mengadakan sistem pengurangan jam kerja dengan membayar upah sesuai jam kerja tersebut.
Hal ini menurut Ning akan menjadi win-win solution, baik untuk pengusaha agar tidak melakukan PHK, sehingga kelak dapat merekrut ulang ketika situasi membaik, dan juga untuk para pekerja.
“Pekerja juga beruntung karena tidak di PHK meskipun penghasilan berkurang,” lanjutnya.
Sementara untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada tahun 2023, Ning menyampaikan, bahwa berdasarkan masukan dari rekan-rekan pengusaha, order akan dipangkas hingga setengah kapasitas oleh buyer.
“Ini tentu saja akan ada guncangan dalam stabilitas industri utamanya padat karya,” ucapnya.
Maka dari itu, Ning meminta kepada para pengusaha untuk dapat menggali ide dan gagasan tentang solusi terbaik yang paling sesuai dengan bidang industri masing-masing, namun sebisa mungkin menghindari PHK lebih jauh.
“Mungkin bisa dengan selang-seling hari masuk, mengurangi jam kerja, dan sebagainya,” saran Ning.
Seperti yang telah diketahui, sejak Januari hingga pertengahan Oktober 2022, Apindo telah mencatat terjadinya PHK sebanyak 73 ribu karyawan. Hal tersebut belum termasuk angka dari perusahaan yang tidak tergabung dalam Apindo.
BPJS sendiri telah mencatat adanya ratusan ribu pekerja yang telah mengajukan klaim JHT, sedangakan JHT 100% adalah untuk karyawan yang telah resign atau terkena PHK. Dalam hal ini, Ning memastikan Apindo Jabar akan mengkonfirmasi ulang ke BPJS terkait data tersebut.
Atas masalah ini, Ning pun merasa perlu untuk mendapatkan pemahaman serta campur tangan dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah dapat memberlakukan safe guard, sehingga keberlangsungan dunia usaha bidang pertekstilan akan terus terjaga.
“Selain pemerintah, kami juga akan berkoordinasi dengan API dalam menyelesaikan permasalahan pengusaha tekstil,” beber Ning.
Satu lagi permasalahan yang dibahas dalam pertemuan para pengusaha dengan Apindo Jabar ialah terkait upah.
“Khususnya di sektor padat karya, karena di sektor ini beban upah sangat signifikan, berbeda dengan sektor padat modal,” kata Ning.
Atas hal ini, Ning mengaku sangat memahami keadaan para pengusaha. Pihaknya memastikan akan mengumpulkan data-data untuk membuat kajian dan evaluasi yang lebih komprehensif, serta mendiskusikannya kembali di internal pengusaha, sebelum menyampaikan dan mendiskusikannya lebih jauh dengan pemerintah.
Sebagaimana kondisi berat yang dialami saat ini, Ning mengimbau para pengusaha harus tetap optimis, namun tidak lupa tetap mawas diri dan realistis.
“Pengusaha juga harus bisa menelorkan ide-ide, serta membangun flexibilitas sehingga terdapat endurance atau daya tahan dalam menghadapi guncangan usaha dan ekonomi dari waktu ke waktu,” tutup Ning.***