BANDUNG, infobdg.com – Perundungan atau lebih dikenal dengan “bullying” dewasa ini semakin banyak terjadi, terlebih di dunia pendidikan. Jawa Barat pun tak luput dari kasus bullying.
Menyikapi masalah ini, Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan telah melakukan beberapa upaya, salah satunya dengan meluncurkan aplikasi Stopper sebagai media untuk melaporkan kasus bullying.
Dikatakan Sekretaris Disdik Jabar, Yesa Sarwedi, pihaknya telah menerima sebanyak 8 aduan dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Dalam laporan ini, beberapa disampaikan secara anonim.
“Identitas kami jaga, kami akan pelajari dan kami distribusikan cabang dinas ke sekolah,” kata Yesa kepada media di Bandung, Senin (20/3).
Terkait kasus yang terdata di aplikasi Stopper ini dilakukan oleh siswa-siswi SMA/SMK dan guru. Adapun jenis kasusnya mulai dari cyberbullying, bullying verbal, hingga fisik. Yesa menegaskan, semua laporan yang masuk akan pihaknya tindaklanjuti dan verifikasi.
“8 aduan ini terdiri dari 6 laki-laki, 2 perempuan. Anonim ada 2, dan 6 menyebutkan nama. Kategori pelaku 1 guru, kemudian siswa 3 orang, dan yang diluar siswa dan guru ada 4 orang,” beber dia.
Disdik Jabar juga memastikan akan memberikan sanksi teguran kepada pelaku tindak perundungan. Setelah menegur, akan dilakukan mediasi antara pihak orang tua, korban, dan pelaku, termasuk pihak sekolah dengan sanksi pembinaan.
“Tapi kalau fisik, biasanya berunding dengan orang tua, baik pelaku dan orang tua korban. Artinya, bisa masuk ranah hukum,” tukas Yesa.
“Mudah-mudahan aplikasi Stopper ini bukan hanya sekedar wacana, launching, lalu selesai, tapi kita akan betul-betul pantau dan sempurnakan, terutama dalam menindaklanjuti pengaduan-pengaduan yang sudah masuk,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Sri Rahayu selaku Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat menuturkan, bahwa Stopper yang dikembangkan Disdik Jabar ini sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan Anak.
“Saya harapkan program ini bukan hanya program seremonial. Akan tetapi, ini adalah program yang benar-benar bisa dirasakan oleh siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah,” harap Sri.
Diakui Sri, banyak rangkaian yang harus dipenuhi dari program Stopper tersebut. Ia pun mengusulkan untuk menghadirkan psikolog agar bisa membina para peserta didik, serta guru.
“Kesiapan dari program ini harus bersinergi dengan stakeholder lainnya seperti DP3AKB dan memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah melalui rapat dengan orang tua murid, Paguyuban juga bisa diundang,” tutur Sri.
Sementara itu, Asep B Kurnia selaku Ketua Lembaga Bantuan Pemantauan Pendidikan menilai dewasa ini telah terjadi penurunan etika dan rasa hormat siswa kepada guru di sekolah.
“Sikap anak terhadap guru zaman sekarang seperti apa,” kata Asep.
Contohnya, ketika guru memberikan tindakan tegas kepada siswa seperti hukuman, guru tersebut lah yang malah dibully atau dinilai bersalah karena telah melakukan kekerasan.
“Maka dari itu sekarang tidak hanya berfokus bullying pada siswa saja tetapi juga guru. Bully juga bisa terjadi kepada guru,” beber Asep.***