BANDUNG, infobdg.com – Dahulu, Bandung merupakan daerah terra incognita atau daerah tak bertuan. Menurut Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam landsarchinaris (Arsip Negara), kota Bandung pertama kali ditemukan oleh seorang Mardjiker bernama Juliaen de Silva dengan nama Negorij Bandoeng atau West Oedjoeng Beroeng. Tapi di abad ke-17, pribumi sering menyebutnya Tatar Ukur dengan penguasa terkenal Wangsanata alias Dipati Ukur. Konon, waktu itu hanya ada sekitar 30 rumah.
Pada tahun 1712 Abraham van Riebeek cucu dari cape koloni di Afrika Selatan mendarat di Pelabuhan Ratu. Dia menjadi pebisnis kopi di Bandung. Dia juga ngahaja ngajugjug Gunung Papandayan untuk mendapatkan belerang sebagai campuran untuk Gunpowder atau bedil sundut. Sampai kemudian ia meninggal di puncak Gunung Tangkuban Parahu pada 13 November 1713.
Dari catatan Riebeek, Kompeni melihat potensi besar dari Negorij Bandoeng. Betul saja, setahun kemudian, warga Bandung bertambah 300%. Bandung pada abad 18 masih hutan rimba. Tak heran bila ada sebutan alas gung liwang liwung, top badak top maung. Jalmo moro, jalmo mati. Karena yang namanya Situ Hiang atau Danau Bandung, airnya masih menggenangi beberapa tempat di Tatar Bandung yang merupakan danau-danau kecil. Sedangkan lahan-lahan lainnya berpaya. Makanya, konon ketika ada kopral kompeni yang suka menipu dan korupsi, dia dibuang ke Bandung.
Tapi para orang buangan ternyata pintar dan cerdik, mereka malah jadi pengusaha kayu. Apalagi saat itu, tatangkalan pating ngaleugeujeur di unggal tempat. Wajarlah bila awal abad ke-18 Bandung disebut Paradise in Exille atau Surga dalam Pembuangan.
Pada abad ini, Negorij Bandoeng sudah punya jalan setapak yang dapat dilewati kuda dan menghubungkan Bandung-Bogor-Batavia. Sehingga pada 1786 Piter Engelhard membuka kebun kopi di lereng selatan Gunung Tangkuban Parahu. Hasilnya sangat memuaskan. Sedangkan yang ngageugeuh selanjutnya adalah Herman Willem Daendels. Ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1811 dan membangun jalan berkilo-kilo meter. Daendels menginginkan agar rentang kendali terhadap Kabupaten Bandung lebih mudah, terutama setelah selesainya Jalan Raya Pos. Ibu kota Kabupaten Bandung dianggap terlalu jauh dari rentang kendali karena jauh di selatan dari jalan raya pos. Deandles memerintahkan para Bupati agar memindahkan ibukota kabupaten ke tepi Postweg.
Sekitar awal tahun 1809, Bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak ke lahan bakal ibu kota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Gedung Pakuan).
Sementara itu, ibu kota Parakanmuncang yang posisinya sudah berdekatan dengan jalan raya pos, namun terlalu dekat dengan ibu kota Kabupaten Bandung yang baru, letaknya harus digeser ke arah timur laut dari posisi semula yaitu ke Anawadak, Tanjungsari sekarang.
Daendels sudah ingin segera memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung sehingga ketika meresmikan Jembatan Cikapundung, dengan sombong Daendels menancapkan tongkat dan setengah mengancam Bupati Kabupaten Bandung sambil berkata “Zorg, dats als ik terug kom hier een staad is gebiuwd!” yang mempunyai arti:
“Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota.”
Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels ataupun pihak kerajaan Belanda, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung. Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah the founding father Kota Bandung.
Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.