- Advertisement -

134 Hektar Pertanian di Kabupaten Bandung Beralih ke Metode Organik

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Para petani di Ciparay, Kabupaten Bandung, kini mulai bergeser memproduksi padi organik. Namun, mereka masih mempertimbangkan harga pupuk organik yang lebih mahal.

Dilansir dari jabarekspres, Meski hasil panen pertama bisa menjadi pertimbangan, diprediksi kualitasnya akan menurun dibandingkan biasanya. Di sisi lain, daya jual dari padi organik ini terbilang tinggi dibandingkan padi non-organik, sehingga hal itu menjadi daya tarik bagi para petani.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Ningning Hendarsah, mengatakan bahwa pihaknya tengah menggencarkan penggunaan pupuk organik khususnya di Kabupaten Bandung. Terlebih, dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat sudah mengaplikasikan penggunaan pupuk organik ini pada masyarakat.

Ningning juga menyebutkan bahwa penggunaan pupuk organik tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kualitas tanah dan hasil panen, tetapi juga lebih ramah lingkungan. Selain itu, ia menekankan pentingnya edukasi dan pelatihan bagi para petani mengenai cara penggunaan pupuk organik yang efektif dan efisien. Pemerintah daerah berkomitmen untuk memberikan dukungan berupa subsidi atau bantuan teknis agar para petani dapat beralih ke pertanian organik tanpa mengalami kendala yang berarti.

Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk pertanian dari Kabupaten Bandung, serta mendukung program pertanian berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah provinsi. Dengan demikian, diharapkan para petani dapat menikmati hasil panen yang lebih baik dan harga jual yang lebih tinggi, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan.

“Semoga ini bisa menjadi solusi untuk kelestarian alam, lingkungan, dan juga menghidupkan lagi mikroba-mikroba yang dibutuhkan sebagai nutrisi di dalam tanah,” beber Ningning saat ditemui dalam kegiatan pemupukan sawah dengan menggunakan pupuk organik NPK Phonska Alam, di Ciparay, Kabupaten Bandung, Jumat (21/6/2024).

Ningning menjelaskan, di Kabupaten Bandung, sawah-sawah organik kini sudah mencakup sekitar 34 hektar. Di wilayah Sarinah, Banjaran, sawah organik bahkan telah mencapai sekitar 100 hektar. Upaya ini merupakan bagian dari program untuk mendorong praktik pertanian yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Jadi ada sekitar 134 hektar yang sudah teridentifikasi dan saat ini Kabupaten Bandung juga memiliki produk organik,” terangnya.

Ningning pun menyebut, jika masih banyak sawah organik yang masih belum terdata.

“Tapi tetak kita akan terus melakukan pendataan berapa kalkulasi yang telah menggunakan pupuk organik ini,” jelasnya.

Menurut Ningning, para petani masih menghadapi kendala dalam menggunakan pupuk organik. Salah satu alasan utamanya adalah keinginan para petani untuk mendapatkan produksi yang tinggi secara instan. Pupuk organik, meskipun lebih ramah lingkungan, cenderung memberikan hasil yang lebih lambat dibandingkan dengan pupuk non-organik.

“Padahal meskipun lambat tapi unsur struktur tanah bisa terakumulasi menjadi baik, mikroba tanah bisa hidup dan lain sebagainya,” sambungnya.

“Nah, petani juga mungkin biasanya ada tagline karasa karampa gitu ya. Kalau petani kalau sudah melihat biasanya mereka mau, baik mengikuti dengan menggunakan teknologi ataupun pupuk organik yang bisa dilaksanakan oleh mereka. Jadi, intinya mereka ingin melihat dulu hasilnya biasanya seperti itu,” tambahnya.

Selain itu, kata Ningning, harga jual hasil pertanian dengan menggunakan pupuk organik biasanya lebih tinggi dan tidak meninggalkan residu berbahaya dalam tubuh manusia.

“Karena hasil testimoni untuk pupuk phonska organik ini kan ternyata bisa meningkatkan produksi. Di sini sudah terlihat dari kelompok tani Jembar Tani hasil 5,5 ton per hektar menjadi 6,0, dan untuk di kelompok tani Sarina dari 6,0 toon menjadi 7,0 ton per hektar, berarti ada peningkatan produksi,” jabarnya.

Sementara itu, Supervisor Mitra Bisnis PT Petrokimia Gresik, Eko Suroso, mengatakan bahwa pemupukan organik di Ciparay ini merupakan salah satu proyek percontohan yang dikembangkan oleh Petrokimia Gresik, bagian dari Pupuk Indonesia.

“Kami melihat bahwa Ciparay ini merupakan salah satu sentra pengembangan padi organik yang tersistem. Sehingga nanti kami mendukung pertahanan ini, menjadi lebih baik dengan menyediakan sarana produksi yang memang sudah dijamin kualitasnya,” ucap Eko.

Eko menjelaskan bahwa pupuk Phonska Alam adalah salah satu pupuk yang diproduksi secara organik dan telah mendapatkan sertifikasi inovasi. Pupuk ini memenuhi standar dari bahan baku, proses produksi, hingga hasil akhirnya yang semuanya murni berasal dari bahan-bahan organik.

“Phonska alam ini memang belum menyeluruh ke Jawa Barat, dan memang baru kami perkenalkan di Bandung dan khususnya di Ciparay ini,” ujarnya.

Ridwan Sanjaya (34), seorang petani dari kelompok tani setempat, menyatakan ketertarikannya untuk beralih ke produksi padi menggunakan pupuk organik. Namun, ia mengakui adanya kendala signifikan terkait harga pupuk organik yang cukup tinggi.

Menurut Ridwan, meskipun dia melihat potensi manfaat jangka panjang dari penggunaan pupuk organik, harga yang tinggi membuat para petani perlu mempertimbangkan dengan cermat biaya produksinya.

“Tapi kalau pupuk kimia biasa kan hanya Rp 240 ribu per kwintal karena ada subsidi. Jadi biaya produksinya menjadi tinggi,” jelasnya.

Ridwan menyebut, di masa tanam pertama peralihan ke organik hasil panen pastinya akan turun.

“Jadi itu juga pertimbangan kami, untuk pindah ke organik, walaupun ada rasa ingin menanam organik,” ucapnya.

Saat ini kata Ridwan, dari 4 hektare sawahnya, kini masih lebih banyak ditanam menggunakan metode yang biasa tidak menggunakan organik.

“Sudah ada sebagian menggunakan organik, cuman itu baru sedikit,” jabarnya. Meski begitu, dirinya berharap untuk pupuk organik sendiri bisa di subsidi, karena harga gabah organik jauh lebih mahal jika dibandingkan harga gabah biasa.

“Kalau yang biasa paling sekitar Rp 600 ribu per kwintal, sedangkan yang organik bisa Rp 750 ribu per kwintal,” katanya.